Selasa, 06 November 2007

INFO APLI

Quesnet / Gold Quest menghitung hari...

Para petinggi Goldquest alias Questnet sudah ditangkap Polri.
Bagaimana nasib Goldquest di Indonesia?
Awal Mei lalu, tepatnya 4 Mei 2007, muncul kabar
mengejutkan tentang ditangkapnya empat petinggi
Quest International (QI)—dikenal pula dengan
Goldquest atau Questnet—oleh Kepolisian RI di
Jakarta. Keempat petinggi Quest International tersebut
adalah Vijayeswaran Vijayaratnam (CEO) yang
berkewarganegaraan Malaysia, Joseph Bismark (Director),
serta dua eksekutif lainnya bernama Donna Marie Imson
danTagumpay Kintanar.Tiga yang terakhir ini semuanya
warga negara Filipina.

Menurut berita di berbagai media massa, keempat
petinggi QI itu ditangkap saat menghadiri sebuah
seminar internasional yang diselenggarakan di Jakarta.
Polisi di Jakarta menangkap keempat warga negara asing
tersebut, kabarnya semata-mata atas dasar adanya red notice
Interpol. Mereka diduga melakukan tindakan melawan
hukum di Malaysia dan Filipina. Sementara untuk
tindakan kriminal yang dilakukan di Indonesia,
Kepolisian mengaku masih akan menyelidiki lebih lanjut
(Detik.com, 4 Mei 2007).

Memang, bersamaan dengan mencuatnya berita
penangkapan para petinggi Goldquest tersebut, muncul
pengaduan dari Ikhsan Abdullah, kuasa hukum mantan
Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Menurut Ikhsan, Goldquest telah membuat dan menjual
koin emas bergambar Gus Dur dan kakeknya, KH
Hasyim Asy’ari, tanpa seizin pihak Gus Dur atau keluarga.
“Koin itu diperjualbelikan dengan harga puluhan
juta tanpa izin Gus Dur. Kita sudah lapor (sebelumnya:
red). Sekarang kita kemari untuk membicarakan kasus ini
lebih lanjut,” ungkap Ikhsan seperti dikutip Detik.com. Ia
meminta supaya keempat petinggi Goldquest tersebut
diadili di Indonesia, dan baru dikirim ke negara masingmasing bila tindakan kriminal mereka sudah diadili disini.

Goldquest di manca negara

Kabar tertangkapnya para petinggi Goldquest di
Jakarta segera menjadi berita hangat di sejumlah media
massa luar negeri. Maklum, di sejumlah negara seperti
di Sri Lanka, India, Nepal, Filipina, dan Malaysia,
perusahaan ini selalu menuai masalah. Perusahaan yang
menjual koin emas dengan sistem binari (kanan kiri
seimbang) ini memang terus berusaha memperbaiki
citranya melalui kampanye iklan di media massa.
Tetapi, mereka justru selalu mendapat publikasi
sangat buruk berkaitan dengan aktivitas bisnisnya yang
menggunakan skema piramid.Terlebih di negara-negara
yang memiliki kontrol media massa sangat kuat serta
sangat ketat aturan hukumnya.Tak heran, sejumlah negara
memberikan warning atau malah mengambil tindakan
tegas terhadap bisnis koin emas ini.

Januari 2002, kantor Goldquest di Dubai sempat
ditutup dua hari gara-gara komplain sejumlah
membernya. Lalu September 2003, Phuspam Naidu
(Country Manager Goldquest India) diperkarakan oleh
kepolisian Chennai dengan dakwaan menggalang dana
masyarakat melalui skema piramid. Sementara kantor
Urusan Bisnis dan Konsumen (OCBA) Australia Selatan
pernah menggolongkan Goldquest sebagai praktik bisnis
skema piramid tak ubahnya Pentagono, Skybiz, atau
Lotto Master.

Juli 2003, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan Filipina sempat memerintahkan
penghentian operasional kantor Goldquest di Filipina.
Pihak berwajib menyatakan, ada bukti awal yang
menunjukkan kalau perusahaan ini menjalankan skema
piramid dan telah melanggar UU Perlindungan
Konsumen.

Di Malaysia, Teoh Boon Sir (General Manager
Goldquest Malaysia) sempat ditahan dan diadili di
Pengadilan Petailing Jaya karena mengoperasikan
Goldquest tanpa memiliki izin khusus (semacam SIUPL
di Indonesia). Ia diancam hukuman penjara 3-6 tahun
dan denda RM 100.000-250.000.
Awal 2003, kantor Goldquest di Nepal ditutup
oleh pihak berwajib karena melakukan praktik skema
piramid. Sementara, dua operatornya yaituTanbir Nizam
(warga India) dan Dona Marie Imson (warga Filipina)
dilepas dengan uang jaminan setelah sebelumnya sempat
ditahan karena kasus priamid Goldquest.


Memakan Korban

Di Indonesia, sebenarnya bisnis Goldquest atau
belakangan diganti namanya menjadi Questnet ini juga
tidak kalah bermasalahnya.Tahun 2000, sebuah yayasan
keagamaan bernama Yami, menggelar program haji
murah hanya dengan uang Rp5 juta saja (saat itu biaya
haji normal Rp20 juta). Kontan, iming-iming ini
memikat hati ratusan warga muslim di Surabaya dan
sekitarnya. Ternyata, oleh para pengurus yayasan uang
peserta itu ‘dimainkan’ di bisnis piramid Goldquest.
Mereka hanya bisa gigit jari setelah uang yang ditanam
untuk pergi haji itu lenyap, sementara para pengurus
yayasan dicokok pihak berwajib (INFO APLI Edisi
XXVII/Jan-Mar 2005).
Dua tahun kemudian, muncul bisnis penggandaan
uang (money game) bernama Pohonmas Mapan Sejahtera
(Pomas) di Surabaya dan Malang. Bisnis Pomas ini
menjanjikan keuntungan 300 persen kurang dari setahun.
Tak pelak, ribuan orang terjaring—tidak sedikit di
antaranya adalah kalangan intelektual, akademisi, aparat
kepolisian, dan pejabat pemda—yang akhirnya hanya
bisa menangis pilu karena jadi korban. Total kerugian
diderita oleh para peserta sekitar Rp235 miliar.Ternyata,
uang mereka dimainkan di piramid Goldquest, bahkan
oleh orang-orang yang sama, yang sebelumnya jadi otakWalau secara logika Goldquest itu ibarat ‘tukang tadah’ bagi ‘uang panas’ kedua money game tadi, namun
mereka selalu membantah telah terlibat langsung atau
tidak langsung dalam kasus-kasus tersebut. Pihak
berwenang—dalam hal ini yang ‘mengizinkan’
beroperasinya PT Goldquest Indonesia—seolah
menutup mata atas fakta-fakta tersebut. Jelas sekali, semua
perusahaan MLM (penjualan langsung) harus punya izin
khusus, Izin Usaha Penjualan Berjenjang atau IUPB, yang
dikeluarkan oleh Depperindag waktu itu (sekarang
SIUPL). Dan, Goldquest jelas-jelas tidak memiliki
IUPB, tapi bebas beroperasi sekian tahun lamanya.

Ketika ditodong wartawan untuk menanggapi kasuskasus ini, pihak yang berwenang mengeluarkan dan mengawasi penggunaan IUPB hanya bisa berkoar;
“Goldquest itu berbahaya sekali...,” ungkap Deddy Saleh
(waktu itu Direktur Bina Usaha dan Pendaftaran
Perusahaan Depperindag). “Begitu ada laporan akan
kami tindak,” tambahnya, seperti dikutip Kontan (10/
27/2003). Masih menurut Deddy, pihaknya dan polisi
belum bisa menggulung Goldquest karena belum ada
pengaduan dari masyarakat.

Ini aneh bin ajaib. Pihak berwajib yang seharusnya
menindak Goldquest karena tahu persis perusahaan itu
beroperasi tanpa izin, masih saja menunggu laporan
masyarakat.

Mengabaikan Hukum

Tiga tahun sejak ramainya kasus Goldquest, Menteri
Perdagangan mengeluarkan aturan penyempurnaan
tentang SIUPB. Melalui SK Menteri Perdagangan
No.13/Maret 2006, keluarlah aturan baru tentang
Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) yang
harus dimiliki oleh semua perusahaan DS/MLM. Lebih
tegas lagi, aturan itu mengancam setiap perusahaan yang
sejak dikeluarkannya aturan baru tersebut tetap
beroperasi tanpa SIUPL akan dikenakan sanki pidana
(Pasal 21).


Tiga tahun Goldquest dapat melenggang beroperasi
dengan mengabaikan aturan SIUPB. Setelah itu, setahun
lebih mereka melenggang dengan mengabaikan SK
Menteri No.13/2006. Sampai kemudian terjadi
penangkapan atas para petinggi Goldquest, yang nota
bene bukan karena pengaduan masyarakat kita, tetapi
semata dari red notice Interpol atau permintaan negara
lain.

Kita semua patut sangat prihatin melihat kenyataan
aturan hukum negeri ini seperti tidak memiliki wibawa
sama sekali. Terlebih bila melihat negara-negara lain
begitu tegas menegakkan aturannya terkait dengan kasus
yang sama. Kita dibuat semakin sedih rasanya. Kita lihat
saja, apakah momentum penangkapan para petinggi
Goldquest tersebut bakal mampu menggerakkan para
aparat kita untuk menegakkan wibawa hukum di
Indonesia.[ez]

INFO APLI Edisi XXXVI/April-Juni 2007 3